Rabu, 23 Juni 2010

Kecemasan Dalam Menghadapi Kematian Pada Lansia

IA PASRAH TERHADAP PENYAKIT YANG DIDERITANYA…

Oleh :

Imam Affandi, S.Psi. MM

Semua orang akan mengalami proses menjadi tua dan masa tua merupakan masa hidup manusia yang terakhir, dimana pada masa ini seseorang mengalami kemunduran fisik, mental dan sosial sedikit demi sedikit sehingga tidak dapat melakukan tugasnya sehari-hari lagi. Menurut Kepala Kanwil Departemen Sosial Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dalam ceramah simposium geriatri, usia lanjut adalah orang-orang yang berusia diatas 56 tahun dan mengandung pengertian bahwa mereka dipandang sudah tidak mampu lagi melaksanakan tugasnya.

Secara umum manusia ingin hidup panjang dengan berbagai upaya yang dilakukan, proses hidup yang dialami manusia yang cukup panjang ini telah menghasilkan kesadaran pada diri setiap manusia akan datangnya kematian sebagai tahap terakhir kehidupannya di dunia ini. Namun demikian, meski telah muncul kesadaran tentang kepastian datangnya kematian ini, persepsi tentang kematian dapat berbeda pada setiap orang atau kelompok orang. Bagi seseorang atau sekelompok orang, kematian merupakan sesuatu yang sangat mengerikan atau menakutkan, walaupun dalam kenyataannya dari beberapa kasus terjadi juga individu-individu yang takut pada kehidupan (melakukan bunuh diri) yang dalam pandangan agama maupun kemasyarakatan sangat dikutuk ataupun diharamkan (Lalenoh, 1993 : 1). Sebaliknya, bagi seseorang atau sekelompok orang, pertambahan usia cenderung membawa serta makin besarnya kesadaran akan datangnya kematian, dan kesadaran ini menyebabkan sebagian orang yang berusia tua tidak merasa takut terhadap kematian. Kematian diterima sebagai seorang sahabat (Tony 1991 : 15).

Dengan demikian orang lanjut usia dalam meniti kehidupannya dapat dikategorikan dalam dua macam sikap. Pertama, masa tua akan diterima dengan wajar melalui kesadaran yang mendalam, sedangkan yang kedua, manusia usia lanjut dalam menyikapi hidupnya cenderung menolak datangnya masa tua, kelompok ini tidak mau menerima realitas yang ada (Hurlock, 1996 : 439).Seperti yang telah dikemukakan diatas, menjadi tua merupakan proses yang wajar dan terjadi pada setiap orang. Permasalahannya adalah bagaimana lansia tersebut bisa menyadari dan mempersiapkan diri untuk menghadapi usia tua. Di sisi lain, ada sebuah anggapan atau pencitraan yang negatif dan positif. Semakin bisa berfikir positif, orang akan semakin bisa menerima kenyataan namun “ menerima ” itu bukan berarti kita menerima apa adanya. Maksudnya adalah bagaimana cara kita menyesuaikan diri dengan usia, melakukan aktivitas secara wajar sesuai dengan kemampuan fisik dan psikis usia tua.

Proses menua (aging) adalah proses alami yang dihadapi manusia. Dalam proses ini , tahap yang paling krusial adalah tahap lansia (lanjut usia). Dalam tahap ini, pada diri manusia secara alami terjadi penurunan atau perubahan kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain. Keadaan itu cenderung berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara umum ( fisik) maupun kesehatan jiwa secara khusus pada individu lanjut usia. Usia lanjut ditandai dengan perubahan fisik dan psikologis tertentu. Efek-efek tersebut menentukan lansia dalam melakukan penyesuaian diri secara baik atau buruk, akan tetapi ciri-ciri usia lanjut cenderung menuju dan membawa penyesuaian diri yang buruk dari pada yang baik dan kepada kesengsaraan dari pada kebahagiaan, itulah sebabnya mengapa usia lanjut lebih rentan dari pada usia madya (Hurlock, 1999 : 380)

Masalah-masalah kesehatan atau penyakit fisik dan atau kesehatan jiwa yang sering timbul pada proses menua (lansia), menurut Stieglitz (dalam Nugroho; 1954) diantara; Gangguan sirkulasi darah, gangguan metabolisme hormonal, gangguan pada persendian, dan berbagai macam neoplasma. Masalah sosial yang dihadapi lanjut usia (lansia) adalah bahwa keberadaan lansia sering dipersepsikan negatif oleh masyarakat luas. Kaum lansia sering dianggap tidak berdaya, sakit-sakitan, tidak produktif dan sebagainya. Tak jarang mereka diperlakukan sebagai beban keluarga, masyarakat, hingga Negara. Mereka seringkali tidak disukai serta sering dikucilkan di panti-panti jompo. Perubahan perilaku ke arah negatif ini justru akan mengancam keharmonisan dalam kehidupan lansia atau bahkan sering menimbulkan masalah yang serius dalam kehidupannya.

Orang yang sudah lanjut usia seringkali mendapat perlakuan yang sebenarnya tidak mereka inginkan, misalnya selalu disuruh duduk saja. Mungkin para lansia itu akan berfikir, “ Mentang-mentang sudah tua, disuruh diam saja. Padahal kan aku ingin membantu juga”. Begitulah yang biasanya terjadi, yang muda merasa kasihan, sementara yang tua merasa kalau mereka masih sanggup melakukan sesuatu. Apa yang orang muda lakukan pada mereka yang sudah lansia seperti yang dikemukakan tersebut, sebenarnya suatu kesalahan (Bali Post, 2 Juni 2002). Sementara sumber data dari World Bank tahun 1994 (Kompas, 30 Mei 1996) membeberkan usia harapan hidup rata-rata penduduk Indonesia ditahun 1960 hanyalah 46 tahun, tetapi ditahun 1990 usia harapan hidup melonjak menjadi 59 tahun, sedangkan ditahun 1994 adalah 62 tahun. Lantas ditahun 2000 meningkat lagi menjadi minimal 70 tahun.

Perkiraan pada tahun 2005 nanti akan terjadi ledakan lansia di Indonesia, jumlah lansia akan mencapai 16,2 juta jiwa atau 7,4 % dari total penduduk yang berjumlah sekitar 216,6 juta jiwa.Memang datangnya masa tua tidak dapat ditentukan dengan pasti sesuai dengan kedudukannya sebagai suatu bagian yang tidak terpisah dari proses hidup seluruhnya sesuai pula dengan kenyataan bahwa semua berlaku menurut hukum alam yang berlaku. Hal ini dikuatkan dari hasil studi kasus yang telah dilakukan oleh peneliti bahwa lansia merasa tidak nyaman saat kondisinya sedang drop (kesehatan menurun), lansia sering mengeluh tidak diperhatikan serta cenderung memperhatikan perilakunya seperti pola makan yang sangat diatur. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Santoso (2000:56) bahwa dalam kehidupan lansia ternyata sebagian besar orang usia lanjut masih mampu mengisi hari-hari tuanya dengan berbagai kegiatan seperti kegiatan keagamaan, mengasuh cucu, memantau pekerjaan sehari-hari, membuat kerajinan seperti menyulam dan lain-lain. (Bali pots,2002)

Usia lanjut dipandang sebagai masa degenerasi biologis yang disertai oleh penderitaan berbagai dengan masa penyakit dan keudzuran serta kesadaran bahwa setiap orang akan mati, maka kecemasan akan kematian menjadi masalah psikologis yang penting pada lansia, khususnya lansia yang mengalami penyakit kronis. Pada orang lanjut usia biasanya memiliki kecenderungan penyakit kronis (menahun/berlangsung beberapa tahun) dan progresif (makin berat) sampai penderitanya mengalami kematian. Kenyataannya, proses penuaan dibarengi bersamaan dengan menurunnya daya tahan tubuh serta metabolisme sehingga menjadi rawan terhadap penyakit, tetapi banyak penyakit yang menyertai proses ketuaan dewasa ini dapat dikontrol dan diobati. Masalah fisik dan psikologis sering ditemukan pada lanjut usia. Faktor psikologis diantaranya perasaan bosan, keletihan atau perasaan depresi (Nugroho, 1992 : 32).

Kecemasan akan kematian dapat berkaitan dengan datangnya kematian itu sendiri, dan dapat pula berkaitan dengan caranya kematian serta rasa sakit atau siksaan yang mungkin menyertai datangnya kematian, karena itu pemahaman dan pembahasan yang mendalam tentang kecemasan lansia penting untuk, khususnya lansia yang mengalami penyakit kronis, dalam menghadapi kematian menjadi penting untuk diteliti. Sebab kecemasan bisa menyerang siapa saja. Namun, ada spesifikasi bentuk kecemasan yang didasarkan pada usia individu. Umumnya, kecemasan ini merupakan suatu pikiran yang tidak menyenangkan, yang ditandai dengan kekhawatiran, rasa tidak tenang, dan perasaan yang tidak baik atau tidak enak yang tidak dapat dihindari oleh seseorang (Hurlock, 1990:91).

Disamping itu juga, ada beberapa faktor lain yang dapat menimbulkan kecemasan ini, salah satunya adalah situasi. Menuruk Hurlock (1990:93) bahwa jika setiap situasi yang mengancam keberadaan organisme dapat menimbulkan kecemasan. Kecemasan dalam kadar terberat dirasakan sebagai akibat dari perubahan sosial yang sangat cepat. Hal ini sesuai dengan hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan oleh peneliti dengan salah seorang lansia yang sedang mengalami pengobatan rawat jalan karena terkena penyakit kronis di tempat kediamannya, seperti dituturkan oleh Azis salah seorang anak yang orang tuanya sedang menjalani terapi pasca pengobatan penyakit stroke di RSU Saiful Anwar Malang, bahwa

“ia pasrah terhadap penyakit yang diderita oleh ibunya, berbagai usaha sudah kami lakukan sebagai anak agar ibu cepat sembuh walaupun tidak 75% sembuhnya. Tapi ibu juga agak rewel susah diatur dan kadang mintanya macem-macem, disuruh diam duduk disitu, ia malah kepengen jalan katanya gak betah tiduran aja”.

Hal tersebut sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh (Casanah,2000:27) mengemukakan bahwa mungkin saja orang yang sudah lanjut usia seringkali mendapat perlakuan yang sebenarnya tidak mereka inginkan, misalnya selalu disuruh duduk saja. Mungkin para lansia itu akan berfikir, “ Mentang-mentang sudah tua, disuruh diam saja. Padahal kan aku ingin membantu juga .” Begitulah yang biasanya terjadi, yang muda merasa kasihan, sementara yang tua merasa kalau mereka masih sanggup melakukan sesuatu. Apa yang orang muda lakukan pada mereka yang sudah lansia seperti yang dikemukaan tersebut, sebenarnya suatu kesalahan. Keluhan-keluhan tersebut merupkan suatu cara yang memang seringkali dilakukan dan terjadi dikalangan lansia yang tujuannya adalah untuk mendapatkan perhatian lebih dari orang-orang terdekatnya yang mungkin hal tersebut bagi si orang tua (lansia) terasa sangat jauh dari dirinya apalagi dalam bentuk perhatian terhadap kesehatan dirinya, seperti pola makan yang sangat diatur, dan lain sebagainya adalah merupakan hasil dari adanya kecemasan akan kondisi kesehatan fisiknya (lansia).

Terdapatnya beberapa penyakit sekaligus pada waktu yang sama, juga sering terjadi pada lansia dan inilah yang sering menimbulkan masalah dalam diagnostik sekaligus menimbukan kecemasan bagi si lansia itu sendiri. Bahkan adakalanya bahwa penyakit yang gawat, kurang diperhatikan karena gejala-gejalanya terselubung oleh keluhan-keluhan umum yang dikemukakan atau oleh karena gejala-gejala proses menjadi tua. Adakalanya mereka melebih-lebihkan keluhan mereka, sebaliknya sering mereka tidak mengemukakan apa yang dirasakan sesungguhnya.

Selain kesehatan fisik yang perlu dipahami, juga ada kesehatan mental, misalnya depresi. Depresi pada lansia memiliki latar belakang yang agak berbeda dengan orang dewasa lainnya, karena depresi pada lansia lebih sering timbul akibat berbagai penyakit fisik yang dideritanya. Suatu ketergantungan hidup pada orang lain timbul pada sebagian lansia yang kondisi fisiknya memang sudah tidak sempurna lagi, sehingga merupakan fenomena kedua penyebab adanya depresi (Nugroho,1992:69). Kecemasan lansia yang mengalami penyakit kronis dalam menghadapi kematian diantaranya adalah terjadinya perubahan yang drastis dari kondisi fisiknya yang menyebabkan timbulnya penyakit tertentu dan menimbulkan kecemasan seperti gangguan penceranaan, detak jantung bertambah cepat berdebar-debar akibatdari penyakit yang dideritanya kambuh, sering merasa pusing, tidur tidak nyenyak, nafsu makan hilang. Kemudian secara psikologis kecemasan lansia yang mengalami penyakit kronis dalam menghadapi kematian adalah seperti adanya perasaan khawatir, cemas atau takut terhadap kematianitu sendiri, tidak berdaya, lemas, tidak percaya diri, ingin bunuh diri, tidak tentram, dan gelisah.

Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya kecemasan pada lansia yang mengalami penyakit kronis dalam menghadapi kematian diantaranya adalah selalu memikirkan penyakit yang dideritanya, kendala ekonomi, waktu berkumpul dengan keluarga yang dimiliki sangat sedikit karena anak-anaknya tidak berada satu rumah/berlainan kota dengan subyek, kepikiran anaknya yang belum menikah, sering merasa kesepian, kadang sulit tidur dan kurangnya nafsu makan karena selalu memikirkan penyakit yang dideritanya

Usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk mengatasi kecemasan pada lansia yang mengalami penyakit kronis dalam menghadapi kematian meliputi menghibur dan menenangkan diri dengan menyanyi, rajin beribadah, menyibukkan diri, misalnya mencuci pakaian atau menyirami tanaman. rajin memeriksakan kesehatannnya ke dokter atau puskesmasterdekat dan mengatur pola makan teratur sebisa mungin, dan mengisi hari-harinya dengan cara menjenguk anak dan cucunya atau pergi mengunjungi ke panti jompo.

Penulis adalah Psikolog/Konusltan Ahli Lembaga Research & Data Base Malang

********Daftar Pustaka

Andrew. 2005. Goliszek Go Second Manajemen Stress. PT. Bhuana Ilmu Populer

Bali Post, 2 juni 2002

Casanah, 2000. A Life Span Fiew Edisi II. PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta

Davidoff, L 1991. Psikologi Suatu Pengantar, Jakarta Erlangga

Hurlock, Elizabeth. 1990. Psikologi Perkembangan edisi kelima Erlangga Jakarta

Kompas, 30 Mei 1996

Maramis, W.F. 1980. Lektor Kepala Ilmu Kedokteran Jiwa. Airlangga University Press

Nugroho Wahyudi, 1992. Buku Kedokteran EGC. Jakarta

Santrock, Jhon. W Life Span Development, Perkembangan Masa Hidup. Jilid II Erlangga

Rahayu, IT & Ardani, TA. 2004. Observasi dan wawancara. Malang Banyumedia Publishing

Raymont.2001 Hidup Sesudah Mati. PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta

Wiramiharja. 2004. Pengantar Psikologi Klinis. Bandung; PT. Refika Aditama

Yin, 1996. Studi Kasus; Desain dan Metode. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Tidak ada komentar:

Posting Komentar