Sabtu, 29 Oktober 2011

Adakah yang Lebih Damai dari Menyendiri Bersama Allah

oleh Sulaiman Gayo pada 14 September 2011 jam 23:09
 
Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam bersabda :
Allah ’Azza wa Jalla akan turun ke langit dunia setiap malam ketika sepertiga malam yang terakhir seraya berfirman : ”Siapa yang berdoa kepada-Ku, maka Aku akan menerima permintaannya dan siapa yang meminta keampunan dari-Ku maka Aku akan mengampuninya. (HR. Bukhari dan Muslim)

 Hanya Allah Sebaik-Baik Tempat Mengadu

Di Thaif yang tiba-tiba ramai, orang-orang berhamburan keluar. Mengusir sosok mulia yang datang dengan niat mulia. Rasulullah yang khusus datang ke tempat itu untuk menyampaikan ajaran Islam, justru disambut dengan lemparan batu, cacian dan dikejar-kejar layaknya seorang pesakitan.
Sahabat Zaid bin Haritsah RA sudah berusaha sekuat tenaga melindungi tubuh Rasulullah dari lemparan batu. Tapi iapun kewalahan, hingga ia sendiri mengalami luka di kepalanya. Maka Rasulullahpun terluka. Tidak saja fisiknya, tapi juga hatinya.
Darah Rasulullah, sosok manusia paling agung itu mengalir, menyela butir-butir pasir tanah Thaif yang gersang. Rasulullah berlari sambil terseok-seok menghindari lemparan batu yang terus mengejarnya hingga ia berindung ke sebuah kebun milik Uqbah bin Rabi’ah. Dalam kondisi payah itu, sambil menahan sakit, ia bermunajat kepada Allah, mengadukan segala yang ia terima dari orang-orang yang tak mengerti itu.
“Ya Allah, kepada-Mu aku mengadukan kelemahanku, kurangnya kesanggupanku, dan kerendahan diriku berhadapan dengan manusia. Wahai Dzat Yang maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Engkaulah pelindung bagi si lemah, dan Engkau jualah pelindungku. Kepada siapakah diriku hendak Engkau serahkan? Kepada orang jauh yang berwajah suram terhadapku ataukah kepada musuh yang akan menguasai diriku? Jika Engkau tidak murka kepadaku, maka semua itu tak kuhiraukan, karena sungguh besar nikmat yang Engkau limpahkan kepadaku.”
Rasulullah SAW adalah manusia yang memiliki kualitas moral paling baik sepanjang zaman. Namun di hamparan tanah Thaif, Rasulullah SAW mengalami kejadian yang sangat menyesakkan dada. Itulah alur hidup dan jalan perjuangan yang harus dilaluinya.
Tetapi yang harus dicatat, dalam suasana yang sangat pahit seperti itu, Rasulullah mengajarkan betapa masih ada tempat mengadu yang segar disaat yang lain menyakitkan. Tempat mengadu yang lapang di saat yang lain sempit, yang berkenan mendengar disaat yang lain menutup mata dan menyumbat telinga. Tempat mengadu itu adalah Allah SWT.
Maka untaian pengaduan Rasulullah SAW dalam munajat itu tidak saja deklarasi kebergantungan kepada Allah,  tapi juga pencarian jawaban akan rasa tentram dari keseluruhan peristiwa yang sangat menyakitkan. Karenanya di akhir do’a itu Rasulullah SAW menegaskan, bahwa jika Allah tidak murka, maka semua kepahitan itu tak akan ia hiraukan. Inilah yang dimaksud jawaban ketentraman di balik kepahitan itu.
Karenanya, di satu sisi Rasulullah memang mengajarkan betapa setiap kita sangat perlu kepada Allah. Betapa setiap kita perlu bermunajat kepada Allah. Betapa setiap kita sangat membutuhkan saat-saat untuk mengadu kepada Allah, menyampaikan segala beban-beban hidup yang berat. Tetapi di sisi lain Rasulullah juga mengajarkan betapa munajat sangat kita perlukan sebagai tempat untuk kita memohon kepada Allah agar kesulitan yang kita hadapi bukan merupakan murkaNya. Bahkan dalam urusan yang menyenangkanpun, kita harus bermunajat kepada Allah, memohon agar kesenangan itu bukan bentuk lain dari cara Allah ’mengasih hati’  untuk kemudian berubah menjadi awal dari malapetaka kehidupan.
Setiap mukmin harus meyakini bahwa dirinya tidak lepas dari rasa bergantung kepada Allah. Tidak ada tempat mengadu yang lebih baik dari Allah SWT. Ia Maha Mendengar keluh kesah hambaNya. Maha Melihat kesusahan dan kesenangan hambaNya. Kepercayaan ini pula yang diajarkan Rasulullah ketika ia hendak kembali lagi ke Mekkah, setelah di Thaif diperlakukan semena-mena.
Zaid yang menemaninya ketika itu bertanya ”bagaimana engkau hendak pulang ke Mekkah, sedangkan penduduknya telah mengusirmu dari sana?” dengan tenang dan  mantap Rasul menjawab pertanyaan Zaid, ”Wahai Zaid, sesungguhnya Allah akan menolong agama-Nya dan membela nabi-Nya.” (Sirah Ibu Hisyam)
Begitulah, meski dalam hadist lain disebutkan bahwa peristiwa Thaif di mata Rasulullah jauh lebih berat daripada peristiwa Uhud, namun Rasulullah tetap memupuk keyakinan, menanamkan semangat dan keyakinan bahwa bersama Allah, segala kesulitan akan punya jalan kemudahan.
Episode pengusiran dari Thaif yang dialami rasulullah juga mengisyaratkan pelajaran penting lainnya. Bahwa betapapun tingginya jiwa seseorang, ia takkan bisa terlepas dari fitrah dan kadar kemanusiaannya. Fitrah perasaan yang merasa senang, sedih, ingin pada ketenangan, menghindari kesulitan dan sebagainya. Merasa sakit bila mengalami penderitaan, merasa gembira bila keinginannya tercapai. Merasa sedih kala melewati peristiwa yang menyakitkan, merasa senang bila mengalami kemudahan.
Tetapi sekali lagi, itu semua justru dalam konteks yang tak jauh berbeda, bahwa setiap orang memerlukan sandaran hidup yang kokoh. Dan tidak ada tempat bersandar yang lebih kokoh dari Allah SWT. Sementara sesama manusia tidak akan ada yang bisa menjadi tempat mengadu yang sesungguhnya. Dalam istilah Ibnul Qayyim Rahimahullah, ”Orang bodoh adalah yang mengadukan Allah kepada manusia. Andaikan ia tahu siapa Robb-nya, tentu ia tak akan mengadukan-Nya kepada manusia, dan andaikan dia tahu siapa manusia, tentu dia tidak akan mengadu pada mereka.”
Mengadukan Allah pada manusia, artinya mengeluhkan segala permasalahan dan beban hidup yang diberikan Allah atas seseorang, pada sesama makhluk. Hal itu tak akan terjadi bagi orang yang mengerti siapa Allah dan siapa manusia. Sebagian dari salafusshalih mengatakan ”Demi Allah, mengapa engkau mengadukan Yang Mengasihimu kepada siapa yang tidak mengasihimu?”
Selanjutnya menurut Ibnul Qayyim, ada tiga tingkatan yang terkait dengan masalah pengaduan. Pengaduan yang paling buruk ialah mengadukan Allah kepada makhluk-Nya. Yang paling tinggi ialah mengadukan diri sendiri kepada Allah. Dan yang pertengahan ialah mengadukan makhluk kepada Allah.
Allah memiliki salah satu sifat yang disebut Ash Shamad, atau tempat memohon pertolongan. Dalam Al Qur’an, kata Ash Shamad hanya ditemukan dalam satu ayat dari ayat kedua surat Al Ikhlas yang berbunyi, ”Allahu Ash Shamad”. Menurut Ibnu Abbas, kandungan makna Ash Shamad itu adalah sesuatu yang telah sempurna kemuliaannya, yang agung dan mencapai puncak keagungannya, yang kaya dan tidak ada yang melebihi kekayaannya, yang perkasa dan sempurna keperkasaannya, yang mengetahui dan sempurna pengetahuannya, yang bijaksana dan tiada cacat dalam kebijaksanaannya. Itulah Allah SWT.
Sifat Ash Shamad artinya hanya Allah satu-satunya tumpuan harapan, segala kebutuhan dalam wujud ini tidak tertuju kecuali kepada-Nya. Dan yang membutuhkan sesuatu tidak boleh mengajukan permohonan kepada selain-Nya. Sebagaimana dalam sebuah hadits shahih disebutkan Rasulullah SAW mengajarkan Ibnu Abbas, ”Jika engkau meminta maka mintalah kepada Allah dan jika engkau membutuhkan pertolongan maka mintalah pertolongan kepada Allah.”  Allah SWT berfirman, ”Apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah(lah) datangnya, dan bila kamu ditimpa kemudharatan maka hanya kepada-Nyalah kamu meminta pertolongan.” (QS. An Nahl : 53)
Di dalam Al Qur’an Allah menjelaskan, bahwa orang-orang yang enggan memohon kepada Allah adalah orang-orang yang sombong. Allah SWT berfirman ”Dan Tuhanmu berkata, memohonlah kepada-Ku, niscaya aku kabulkan. Sesungguhnya orang-orang yang sombong dari menyembahku, akan memasuki neraka secara hina.” (QS. Al Mu’min : 60)
Tak ada suasana paling indah, kecuali hadir dengan penuh ketundukan dan rasa kebergantungan yang dalam dihadapan Allah SWT. Terlebih di saat malam yang sunyi. Ketika dunia terlelap dalam diam.
Ditengah segala kesulitan hidup yang terus menumpuk, semestinya, seorang muslim punya saat-saat khusus untuk bermunajat kepada Allah di luar kewajiban rutinnya yang tetap. Dalam kesendirian, dalam suasana hening, dalam kesunyian dunia, kita bisa menyendiri mengadu kepada Allah, seluas-luasnya, sebebas-bebasnya, tanpa sedikitpun merasa tak didengarkan.


oleh Nindi Fatimah -- Dikutip dari Majalah tarbawi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar