Petuah Wali Naggroe
Apa Petuah Wali Nanggroe
TGK HASAN M. DI TIRO sudah empat bulan bermukim di Aceh. Beliau kembali ke tanah kelahiran setelah ditandatangani perjanjian damai antara GAM dan pemerintah RI di Helsinki. Kini Aceh sudah sediakala, aman dan damai. Keadaan ini tak lepas dari keinginan serta persetujuan beliau (Wali Nanggroe). Itu sebabnya, rakyat Aceh sekarang berharap ada petuah-petuah politik dalam masa damai ini.
Sudah hampir empat bulan menetap di Aceh, namun belum ada petuah apapun. Banyak hal semestinya ingin didengar, misal berkait dengan substansi perjanjian Hensinky atau tentang self gevorment Aceh. Juga keputusan-keputusan politik lainnya untuk pembangunan Aceh ke depan. Selama di Aceh, hanya sekali bicara lewat teks pidato yang dibacakan oleh pembantu dekatnya di halaman Mesjid Raya Baiturrahman. Namun itu tidak menyentuh subtansi persoalan-persoalan keputusan politik untuk Aceh yang telah diambil. Pidato itu hanya sebagai ucapan terimakasih serta seruan kepada rakyat untuk sama-sama menjaga perdamaian Aceh. Itulah yang sampai saat ini, menimbulkan pertayaan dari rakyat Aceh.
Mengapa Wali diam saat Aceh telah damai? Sebab keinginan rakyat Aceh mendengar petuah-petuah politik Wali cukup punya alasan. Bahwa beliau merupakan sosok penggerak perjuangan Aceh, komitmen ke-aceh-annya telah terbukti sejak masih berstatus sebagai mahasiswa pada fakultas Hukum Columbia Universiti. Beliau pernah mengirim surat terbuka kepada Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo untuk memproklamirkan dirinya sebagai Duta Besar Republik Islam Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sehingga efek dari surat tersebut Wali ditahan oleh pihak Imigrasi Amerika dan paspor diplomatiknya sempat dibekukan.
Kecuali itu, Tgk Hasan di Tiro juga dikenal sangat gigih dan komit atas perjuangannya bagi kejayaan Aceh. Terbukti dari keberanian menerima konsekwensi harus hidup di luar negeri, terutama sejak beliau mendekralasikan GAM pada 4 Desember 1976 lalu. Tgk Hasan juga harus meninggalkan kehidupan mewah di Amerika dan mengembara di hutan bersama pasukannya, apalagi ketika rezim Orde Baru yang hendak menghapus perjuangan Aceh yang beliau gerakkan.
Saya pikir ketika rezim militer Orde Baru, tidak ada manusia Aceh yang berani melawan pemerintahan yang sedang berkuasa. Bagi Hasan Tiro itu resiko atas perjuangan untuk rakyat Aceh dan masa depan mereka agar lebih baik. Obsesi beliau ketika itu adalah bagaimana rakyat Aceh bisa berdaulat di negeri sendiri. Itulah yang jadi misi perjuangan Aceh yang digagas Tgk Hasan di Tiro sehingga beliau rela nyawanya digadaikan. Obsesi Wali Nanggroe adalah gambaran keadaan Aceh masa 30 tahun yang lalu ketika ia masih menatap masa depan Aceh penuh kesuraman. Inilah kemudian agaknya yang jauh berbeda dengan paradigm perjuangan masa komtemporer Aceh sekarang.
Wali nanggroe, sudah kembali ke Aceh. Perjanjian damai di Helsinki adalah titik awal perubahan bagi Aceh. Aceh kini sedang menuju era pembangunan dan kemajuan. Jika 30 tahun yang lalu GAM pernah dianggap sebagai gerakan separatis, kini GAM berganding bahu dengan pemerintah Indonesia membangun Aceh. GAM telah diberi kesempatan mendirikan partai politik lokal untuk memperjuangkan Aceh dalam lunas-lunas demokrasi dan politik. Sehingga kebebasan berdemokrasi di Aceh telah memberi kesempatan bagi mantan-mantan kombatan GAM memimpin Aceh baik di lembaga Legislatif maupun Eksekutif.
Pertanyaannya; apakah kebebasan berpolitik dan pesatnya pembangunan yang sedang berjalan di Aceh saat ini menunjukan obsesi perjuangan Wali telah mencapai titik klimak? Lebih jauh, apakah dengan kemenangan Partai Aceh (PA) menunjukkan kemenangan cita-cita Wali dan kemenangan perjuangan Aceh?
Mungkinkah Wali masih mempunyai obsesi yang lebih besar bagi rakyat Aceh. Pertayaan-pertayaan ini menjadi kunci yang perlu dicari jawaban dari Wali sendiri sebagai pilar depan penggerak perjuangan Aceh. Kita memang tidak bisa menginterpretasi obsesi-obsesi tersebut, cuma bisa berharap mudah-mudahan Wali memberi petuah-petuah politik serta pencerahan-pencerahan baru bagi rakyat Aceh untuk membangun Aceh yang berkeadilan.
Keberadaan Wali di Aceh memberi sesuatu yang bermanfaat bagi rakyat Aceh terutama ide-ide brilian untuk pembangunan Aceh di masa damai. Selemah apapun Wali sekarang, kita tetap yakin ide, semangat serta komitmen beliau untuk membangun kehidupan rakyat Aceh yang berkeadilan tetap membara. Memang kini ketokohan Wali tidak seagresif masa mudanya. Beliau sudah mencecah usia 83 tahun, telah banyak kelemahan di sana sini. Berbagai penyakit pun sudah menghinggapinya. Begitu pun, kita bisa membandingkan ketokohan Wali Teungku Hasan M. Di Tiro dengan Imam Khomeini pemimpin revolusi Islam Iran. Ideologi perjuangan kedua tokoh ini berbeda akan tetapi tujuan perjuangan sama.
Imam Khomeini saat pulang ke Iran juga telah lanjut usia, akan tetapi di usia senjanya beliau masih memimpin revolusi Islam Iran sehingga rakyat Iran tidak seperti anak ayam kehilangan induknya. Beliau sering mengeluarkan pernyataan-pernyataan politik di media dan menyeru rakyat Iran untuk menjaga revolusi Islam yang telah beliau perjuangkan. Tindakan-tindakan beliau telah mampu menyelamatkan revolusi Islam Iran sampai hari ini walaupun beliau telah tiada.
Kita memang tidak bisa mengharapkan sepenuhnya seperti dilakukan oleh Ayatullah Imam Khomeini akan dilakukan oleh Teungku Hasan M.di Tiro di Aceh diusia senja beliau. Namun kita yakin apa yang dilakukan oleh Imam Khomeini akan mampu dilakukan oleh Teungku Hasan M. Di Tiro membimbing rakyat Aceh di masa damai membangun Aceh yang lebih mandiri dalam kontek pemerintahan sendiri (self goverment).
Mudah-mudahan keberadaan Wali di Aceh tidak hanya untuk menghabiskan masa tuanya, sedangkan pada sisi lain masih banyak ide-ide beliau yang bisa dikontribusikan untuk rakyat Aceh. Selama ini beliau tinggal di Aceh, akan tetapi bagaikan jauh dari rakyat Aceh. Rakyat Aceh hanya tau ketika beliau sakit, setelah itu hilang begitu saja. Rakyat Aceh juga tidak mau keadaan Wali sebagaimana gurunya Teungku Muhammad Daud Beureueh. Abu selalu dicurigai dan pernah diasingkan ke Jakarta.
Keinginan Wali tinggal di Aceh saat ini menunjukkan keikhlasan beliau menjaga perdamaian Aceh dalam bingkai negara kesatuan Republik Indonesia. Beliau tidak menginginkan Aceh terjerumus lagi ke dalam kancah peperangan, perang telah mengorbankan beribu-ribu rakyat serta memusnahkan masa depan rakyat Aceh, baginya perang telah menjadi pengalaman pahit bagi rakyat Aceh. Kini beliau ingin perdamaian Aceh tetap langgeng. Maka gerakan beliau tidak perlu dibatasi dan dicurigai. Biarkan beliau mengekpresikan sisa hidupnya untuk membimbing rakyat Aceh demi membangun Aceh baru yang lebih maju serta sejahtera.
**Penulis adalah mahasiswa program S3 bidang falsafah Politik Universiti Kebangsaan Malaysia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar