Minggu, 01 Januari 2012

Kebiasaan Tahun baru


Ngak terasa, semarak perpindahan tahun sudah mulai terlihat di sana-sini. 

Beberapa teman-teman di kampus mulai menyusun rencana mau kemana menghabiskan malam pergantian tahun ini. 

Ada yang berniat jalan dengan pacarnya, ada yang bersama keluarga, bagi yang  indekos alias tidak tinggal bareng orang tua dan juga dengan kesadaran penuh memilih kelas sosial sebagai seorang jomblo alias tak punya gandengan atau punya gandengan tapi terpisahkan jarak terpaksa bikin acara bersama, yah itung-itung melestarikan tradisi leluhur untuk berkumpul2 bareng teman2, bareng teman senasib seperjuangan.


Kesibukan-kesibukan rutin ini gara-gara ulah leluhur yang saking gak ada kerjaan nya di dunia ini sempat-sempatnya menciptakan hitungan waktu. Mereka pecah satu tahun menjadi dua belas bulan, kemudian menjebak diri mereka sendiri di antara sekat-sekat kamar-kamar tahunan. Belum puas dengan sekatan waktu ini, mereka pun mulai menciptakan mitos-mitos akhir tahun, semua nya serentak mendadak jadi ahli hitungan dan kebijakan. Ia hitung berapa kali ketiban rezeki dalam dua belas bulan kemarin, berapa kali ditipu sama tukang ojeg, ketipu sama supir angkot atau kernet metro mini, bolos kuliah berapa kali, nipu ortu dengan mark up uang kos, di tolak gebetan, atau diterima gebetan, atau kalau yang punya tampang lumayan berapa kali nerima atau nolak cinta, dan itungan-itungan lainnya. Kedepannya pun akan sama, kita akan bersiap meninggalkan kamar tahun yang satu untuk pindah ke kamar tahun yang baru, perhitungan-perhitungan itu akan dijadikan sebgai pijakan baru dalam merajut harapan-harapan yang juga dalam kamar harapan, manusia modern menyebutnya dengan “resolusi”. Di kamar januari hingga desember, terlahir harapan-harapan akan jatuhnya mirakel-mirakel dari langit yang bisa menambal luka tahun lalu. Yang jomblo dapet pasangan (yang baru punya satu segera bertambah :)D), yang bingung mau nulis skripsi segera mendapatkan tema yang visible, yang nganggur segera dapet pekerjaan, yang malas kuliah jadi semakin rajin, yah inilah tahun baru, saat semua manusia meneruskan tradisi leluhurnya, menyekat diri dengan waktu ciptaan manusia itu sendiri.

Agak pindah ke lain hal tapi masih dalam satu tema, saya jadi ingat materi pengajian yang disampaikan oleh seorang ustadz berkenaan dengan tahun baru. Dengan menggebu-gebu ustadz itu bilang, “lihatlah masyarakat muslim saat ini, mereka ikut-ikut gaya orang kafir, mereka merayakan tahun baru masehi, padahal tahun baru ini adalah perayaan para penyembah matahari, islam punya tahun sendiri, yang berdasarkan bulan……” dulu saya percaya pada omongan guru agama ini, tapi sekarang sudah tidak lagi. Saya coba merenungi, mengapa ada manusia yang berpatokan pada bulan dan ada yang berpatokan pada matahari dalam menentukan tahun-tahun yang kelak akan menyusahkan anak turunan mereka? Jawabannya ternyata cukup sederhana, orang yang berpatokan pada perdagangan dan pelayaran, akan berpatokan pada bulan, karena bulan menentukan arah angin serta pasang surutnya air laut. Sedangkan manusia yang peradabannya disokong oleh pertanian dan ekspansi daratan, akan menggunakan matahari, karena peradaban mereka sangat bergantung dengan sang surya ini. Coba lihat, orang jawa kuno lebih menghargai matahari ketimbang bulan, mereka sebut matahari sebagi batara surya, mereka bertanam berdasarkan bulan-bulan surya yang dikenal denganpranata mangsa. Hal ini wajar mengingat orang jawa pra mataram kuno adalah bangsa yang bergantung pada pertanian, mereka mengisi hidup mereka dengan menanam kemudian menunggu memanem untuk kemudian menanam lagi, mereka tak sempat berlayar, hidup mereka tak sibuk, tak ada kerjaan, saking gak ada kerjaannya mereka sempat-sempatnya buat bangunan raksasa dari batu-batu yang tersusun (kelak jadi salah satu keajaiban dunia) bahkan mereka hampir berhasil membuat seribu bangunan batu (please, jangan anggap ini fakta sejarah).

Jadi kita bisa tahu kenapa islam yang turun di tanah arab sana menggunakan perhitungan bulan, orang arab kuno itu adalah bangsa pelaut dan pedagang, mereka sangat bergantung dengan bulan. Sehingga, Islam pun meminjam tradisi arab ini (atau arab yang memaksa meminjamkan nya???). Oleh sebab itu jangan terlalu lebay, jangan ghuluw menghukumi orang yang merayakan tahun baru sebagai peniru orang kafir dan dikenakan hadist, “man tasyabbaha bi qaumin fa huwa minhum”.

Mari kita memaafkan para leluhur yang telah menciptakan sekatan waktu yang menyusahkan ini, dan sekaligus meneruskan tradisi mereka meskipun kita tak punya landasan untuk mengatakan suatu hal sebagai tradisi. Tulisan ini pun bukan tulisan ilmiah, tulisan ini cuma sekedar refleksi dari diri saya sendiri atas fantasi-fantasi saya yang liar yang sering membayangkan fenomena kehidupan sebagai cerita pendek unsich. Mungkin ini sebagai akibat menjadi bagian dari proses kehidupan posmo, kehidupan yang mensyaratkan hadirnya glenyenganngeyel sing aneh-anehneka-neka waton sulaya,sebagai pembeda dari kehidupan modern yang kaku dan sama sekali tidak memanusiakan manusia....akhir kata, terimalah persekot dari saya…selamat tahun baru..
:)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar