Senin, 29 November 2010

Awas, Congek Bisa Mematikan



Infeksi gendang telinga atau yang biasa disebut congek, bila dibiarkan, ternyata dapat mengakibatkan kematian. Sekitar 60 persen penderita congek di Indonesia hanya bisa ditolong dengan operasi. JANGAN remehkan penyakit congek. Penyakit telinga berair (otitis media supuratif kronis) ini ternyata bukan hanya sekadar mengganggu pendengaran. Congek yang kronis bisa pula mengundang maut. Di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, selama sepuluh tahun terakhir ini tercatat 3-7 orang meninggal setiap tahun gara-gara congek. Kematian itu bisa terjadi karena kuman yang menggerogoti telinga merambah ke bagian otak dan menimbulkan radang selaput otak. Di Indonesia memang tidak ada data lengkap yang bisa mengungkap angka kematian yang disebabkan oleh penyakit congek. Namun, dengan jumlah penderitanya yang cukup besar, mungkin saja kasus kematian yang terjadi lebih besar daripada yang tercatat di satu-dua rumah sakit besar. Survei kesehatan di Indonesia yang meliputi tujuh provinsi pada 1994-1996 menunjukkan bahwa angka penderita penyakit ini 3,8 persen dari total populasi. Jadi, penderita congek—umumnya berusia 10-30 tahun—di Indonesia sekitar 8 juta orang. Dari 8 juta itu, sekitar 60 persen diperkirakan menderita infeksi gendang telinga yang sudah parah sehingga hanya bisa ditolong dengan operasi. Hal itu menjadi problem tersendiri, baik bagi penderita maupun bagi para dokter. Tak banyak ahli yang menanganinya. Di negara dengan 13 ribu pulau yang berpenduduk lebih dari 200 juta ini hanya ada 500 orang dokter ahli telinga-hidung-tenggorokan (THT). Itu pun 130 orang di antaranya menumpuk di Jakarta. Karena itu, relevan bila Bagian THT Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan RSCM menyelenggarakan simposium bertema "Timpanoplasti dan Kursus Disleksi Tulang Tempora" di Hotel Santika, Jakarta, akhir September lalu. Simposium ini disertai peragaan cara operasi terbaru timpanoplasti. Melalui simposium ini diharapkan para dokter ahli THT lebih baik dalam memberikan terapi dan lebih tepat dalam memutuskan apakah congek hanya perlu diobati atau harus dioperasi. Penyakit telinga ini biasanya mulai terjadi pada anak-anak. Penyebabnya bisa berbagai macam. Pada anak-anak yang menetek susu ibu sambil berbaring, sementara ibunya pun berbaring, kupingnya sering terserang infeksi. Soalnya, bisa saja tanpa disadari air susu ibu mengalir ke lubang telinga si bayi. Genangan susu itu akhirnya mengundang hadirnya kuman dan menyebabkan gendang telinga terserang infeksi. Kaum dewasa pun bisa terserang congek bila tak awas dalam memperlakukan indra pendengaran mereka, misalnya mengorek-ngorek telinga terlalu dalam hingga gendang kuping pecah. Namun, anak-anak memang lebih mudah menderita congek. Penyebabnya, hubungan hidung, telinga, dan tenggorokan yang biasa disebut tuba eustachii pada anak-anak berbeda dengan orang dewasa. Saluran tuba eustachii pada anak-anak dan bayi lebih pendek dan lebar, sementara posisinya mendatar antara tenggorokan dan kuping. Akibatnya, kuman setiap saat bisa masuk ke kuping, terutama bila mereka sedang terserang batuk ataupun pilek atau ketika berenang. Bentuk infeksi telinga pada anak-anak biasanya akut. Gejalanya berupa badan kejang-kejang atau panas-dingin. Bila gejala itu ditangani dengan tuntas, anak akan sembuh sempurna. Ini berbeda dengan congek kronis yang tak disertai gejala panas atau demam. Pada yang kronis, telinga hanya mengeluarkan air atau nanah, yang berhenti bila diberi obat. Namun, bila penderita mandi atau masuk ke air, penyakitnya kumat lagi. Bila telinga yang terserang congek kronis tidak juga menjadi jos setelah pengobatan dua bulan, dengan ditandai luka di gendang telinga yang tidak mampat, "Operasi sebaiknya dilakukan," kata Dokter Helmi, salah satu pembicara simposium. Congek yang sudah kronis itu biasanya ditandai dengan bisul di belakang daun telinga atau di liangnya, atau nanah yang keluar dari lubang telinga. "Bila tanda-tanda stadium lanjut itu terlihat, dokter-dokter di daerah sebaiknya cepat merujuk pasiennya ke rumah sakit yang memiliki dokter spesialis THT," kata Dokter Zainul A. Djafaar, ahli THT dari RSCM, yang menjadi ketua panitia simposium itu. Ada dua jenis operasi untuk penyakit telinga ini. Bila tujuan operasi hanya untuk menyembuhkan penyakit dan mencegah komplikasi, operasi mastoidtomi radikal bisa dilakukan. Operasi ini tidak membangun kembali gendang telinga secara lengkap karena memang tak bertujuan memperbaiki pendengaran. Sebagian besar operasi dengan cara ini biasanya tidak tuntas. Soalnya, setelah operasi, cairan dari dalam telinga masih mungkin meleleh lagi. Bila penyakit mencapai stadium kronis jenis jinak, menurut Helmi, kombinasi operasi mastoidtomi simpel dan timpanoplasti bisa dipakai. Operasi ini berupa pembersihan infeksi dan rekonstruksi kerusakannya. Target operasi ini untuk memperoleh gendang telinga secara utuh dengan sistem penghantaran suara yang baik. Dalam operasi, ada rambu-rambu yang mesti diperhatikan. Anak berusia di bawah 9 tahun sebaiknya tidak dioperasi, kecuali bila infeksi itu sudah sedemikian parah. Operasi pada usia dini itu sangat berisiko gagal karena infeksi jalan napas atas (hidung), juga pilek dan batuk, sering mengganggu jalan operasi. Operasi ini pun diasumsikan untuk penderita yang tidak mengidap penyakit lain, misalnya tumor dan kencing manis. Selain itu, operasi ini tidak bisa dikerjakan oleh dokter umum karena membutuhkan suatu peralatan yang rumit, seperti mikroskop, alat-alat bedah yang serba mungil, dan tentu keahlian seorang dokter spesialis. Kelik M. Nugroho, Mustafa Ismail sumber: http://www.pdat.co.id/klinik/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar