Penyakit yang umumnya dikenal sebagai congek (kalau sudah parah) ini bisa juga bikin sengsara. Namun, karena menyerang telinga, biasanya tidak terlalu mendapat perhatian. Padahal, kalau sampai si otitis media datang dan tak segera ditangani, akibat yang ditimbulkannya tak kalah mengerikan. Bisa jadi tuli. Atau, bisa sampai menimbulkan komplikasi, di antaranya meningitis atau radang otak yang dapat berakhir dengan kematian.
Bayi dan anak-anak lebih rentan
Otitis media sebenarnya radang telinga tengah. Nama keren ini berasal dari kata oto yang artinya telinga, itis berarti radang, dan media yang menunjukkan bagian tengah. Jadi, otitis media itu peradangan sebagian atau seluruh telinga tengah.
Untuk mengetahui apa yang dimaksud telinga tengah, coba tengok sebentar anatomi organ pendengaran kita. Telinga dibagi atas tiga bagian, yakni telinga luar, tengah, dan dalam. Telinga luar meliputi daun telinga sampai membran timpani atau gendang telinga, yang menjadi pembatas antara dunia luar dengan rongga telinga tengah. Rongga telinga ini juga menjadi muara tuba eustachius, saluran yang menghubungkan daerah nasofaring di rongga mulut dengan rongga telinga.
Tuba eustachius memiliki peranan cukup penting. Selain sebagai ventilasi agar tekanan di rongga telinga sama dengan tekanan udara luar, saluran ini juga merupakan penghalang masuknya kuman dari nasofaring ke telinga tengah. Secara normal tuba dalam keadaan tertutup. Kalau telinga tengah perlu oksigen, ketika mengunyah, menelan, atau menguap, saluran ini baru terbuka.
Di telinga tengah juga terdapat tiga tulang pendengaran yang saling bersambungan dan menghubungkan gendang telinga dan rumah siput (koklea) di telinga dalam. Rumah siput merupakan tujuan akhir getaran suara sebelum diteruskan melalui saraf pendengaran dan keseimbangan ke otak.
Telinga tengah biasanya steril. Di dalam tuba eustachius ada mekanisme pertahanan untuk mencegah masuknya mikroba dari rongga mulut ke rongga telinga. Namun, dalam kondisi tertentu, ketika pertahanan terganggu, infeksi di telinga tengah bisa terjadi. Kuman masuk ke telinga tengah seolah tanpa perlawanan. Kuman inilah yang menimbulkan otitis media.
Kemasukan benda asing atau serangga, yang betah dan tak bisa keluar, juga bisa menyebabkan infeksi telinga. Atau, karena “keunikan” individu. Orang yang anatomi telinganya tidak normal bisa juga menderita otitis media. Orang macam ini cenderung rentan terhadap kotoran, yang biasanya mengandung kuman.
Peradangan biasanya ditandai dengan keluarnya cairan pada organ pendengaran ini. Kalau cairannya kental seperti nanah, penyakitnya disebut otitis media supuratif. Sebaliknya, ada yang nonsupuratif (otitis media serosa). Sekilas, gejala keduanya hampir sama.
Dilihat dari proses munculnya penyakit, otitis media masih dibedakan lagi atas otitis media akut dan kronis. Bila otitis media supuratif timbulnya mendadak, disebut otitis media akut (OMA). Kalau tidak segera diobati sampai tuntas, si OMA dapat berkembang menjadi otitis media supuratif kronis (OMSK). Berbagai komplikasi juga bisa timbul. Tidak hanya gangguan fungsi telinga, tetapi bisa mengakibatkan kematian. Proses menjadi kronis ini bisa menyebabkan hancurnya struktur di dalam telinga dan tulang-tulang di sekitarnya yang merupakan bagian dari tengkorak.
Infeksi dapat terus menyebar sampai ke selaput pembungkus otak dan ke jaringan otak sendiri. Ini terjadi karena benteng pertahanan di telinga berhasil diruntuhkan kuman penyakit. Reaksi pertama yang terjadi biasanya berupa pembentukan abses lokal. Selanjutnya, melalui proses cukup rumit, abses ini bisa menyebar ke selaput pembungkus otak, lalu ke jaringan otak. Walaupun tidak khas, nyeri kepala di daerah atas dan belakang telinga bisa menjadi petunjuk infeksi telinga yang sudah masuk ke rongga tengkorak.
Komplikasi otitis media bisa terjadi di telinga saja (lokal) atau di dalam rongga tengkorak (intrakranial). Kelumpuhan saraf wajah dan labirintitis (yang gejalanya vertigo dan tuli saraf berat) adalah contoh komplikasi lokal. Sementara infeksi sampai ke otak bisa berlanjut menjadi meningitis dan abses otak. Pada keadaan ini, penanganannya menjadi lebih rumit, melibatkan tidak hanya dokter spesialis THT, tetapi juga dokter spesialis saraf atau bedah saraf. Hasil terapi pun lebih sulit diperkirakan.
Yang menjadi masalah kalau otitis media terjadi pada bayi atau anak kecil. Meski belum tentu dikeluhkan mereka justru rentan terhadap otitis media. Gangguan pendengaran pun mudah terjadi, karena bentuk tubanya lebih pendek, lebar, dan mendatar. Kalau ada infeksi di saluran pernapasan atas, misalnya batuk pilek atau influenza, kuman-kumannya lebih leluasa untuk sampai ke rongga telinga tengah. Maka OMA pun cepat terjadi.
Infeksi dapat menimbulkan perubahan lapisan mukosa telinga tengah. Perubahan ini terjadi berangsur-angsur, tidak langsung. Mula-mula tuba eustachius tersumbat, sehingga penderita merasa pendengarannya terganggu. Lalu terjadi perubahan pada lapisan mukosa di dalam telinga, terbentuk cairan di rongga telinga, dan gendang telinga membengkak. Penderita akan merasa sangat sakit dengan demam tinggi dan nyeri di telinga semakin bertambah. Kalau cairan tidak segera dikeluarkan, gendang telinga bisa pecah atau robek (perforasi), dan meninggalkan lubang. Tuli pun bisa terjadi.
Berdasarkan bagian yang mengalami gangguan atau kerusakan, tuli dibedakan menjadi tuli konduktif dan tuli saraf. Pada tuli konduktif, pendengaran menjadi terganggu karena ada gangguan hantaran suara akibat kelainan telinga luar dan tengah. Sifatnya mekanis dan umumnya bisa direparasi. Tuli saraf lebih sulit disembuhkan, karena yang rusak di bagian dalam, sarafnya sendiri, atau pusat pendengaran di otak. Kedua jenis tuli ini dapat terjadi sendiri-sendiri atau bersamaan, dan bisa diderita segala usia.
Nah, infeksi di telinga tengah hampir selalu menimbulkan tuli konduktif. Walaupun gendang telinga masih utuh, tulang-tulang pendengaran bisa terputus. Hal ini akan menimbulkan tuli konduktif lebih parah. Penanganannya pun bisa melalui bedah rekonstruksi mastoidektomi, untuk menyambung tulang-tulang pendengarannya. “Tindakan bedah ini bertujuan untuk memperbaiki pendengaran sampai penderita bisa bersosialisasi dan melakukan aktivitas sehari-hari. Artinya, cukup sampai ia bisa mendengar dan mengikuti pembicaraan orang-orang di sekitarnya, bukan mengembalikan fungsi pendengaran sampai seratus persen normal,” ujar dr. Helmi, Sp.THT, dari Bagian THT.
Pada kasus infeksi yang mencapai ke telinga dalam dan menimbulkan tuli saraf berat di kedua telinga, terkadang diperlukan implantasi koklea. Tindakan ini cukup rumit dan memerlukan waktu cukup lama. Pada kasus lain, dapat pula digunakan alat bantu dengar. Hanya saja diperlukan beberapa persyaratan khusus, seperti keadaan telinga luarnya harus baik. Pasalnya, alat bantu dengar di telinga bisa memberi peluang terjadinya infeksi telinga luar.
Obati sampai tuntas
Otitis media dapat menimpa siapa saja tanpa pandang bulu, dari bayi, anak-anak, dewasa, hingga orang lanjut usia. Kalau penyakitnya parah karena tidak segera diobati, salah satu akibatnya adalah kehilangan kemampuan mendengar tadi. Lebih celaka lagi, kalau hal itu terjadi pada bayi. Kapasitas belajarnya akan terganggu, bahkan perkembangan kemampuan bicaranya tertunda.
Pada anak kecil, nyeri di dalam telinga akibat otitis media sangat terasa. Selain itu, ia menderita demam tinggi, tampak gelisah dan sukar tidur, terkadang sampai menjerit waktu tidur. Gangguan pendengaran terkadang baru diketahui lewat perilaku anak, misalnya ketika dipanggil atau diajak bicara si anak cuek saja atau cenderung mempergunakan salah satu telinganya. Pada anak lebih besar atau orang dewasa, gangguan pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau kurang mendengar juga sering dikeluhkan, selain nyeri.
Penyakit ini bisa saja membaik (sembuh) dengan sendirinya kalau daya tahan tubuh penderita cukup baik dan daya serang kumannya rendah. Gendang telinga tetap utuh dan fungsi pendengaran kembali normal. Dengan penanganan yang tepat dan tuntas pun penyakit ini bisa sembuh.
Pengobatan OMA dini sebenarnya cukup sederhana. Dengan obat antibiotik generik seperti amoksisilin atau eritromisin dalam dosis cukup selama seminggu umumnya sudah bisa teratasi. Dulu, sebelum ada antibiotik, OMA bisa menimbulkan berbagai komplikasi. Dari abses telinga sampai abses otak dan meningitis.
Pada penderita OMA yang tidak sembuh dengan obat saja, terkadang diperlukan tindakan miringotomi (penyayatan gendang telinga untuk mengeluarkan cairan) dengan segera. Tujuannya, agar kerusakannya tidak sampai ke telinga dalam yang bisa mengakibatkan tuli saraf. Dengan tindakan ini, luka sayatan nantinya akan sembuh dan gendang telinga kembali utuh.
Penanganan yang terlambat dapat menimbulkan robekan gendang telinga. Cairan nanah akan mengalir dari telinga tengah ke luar. Pada keadaan ini, anak yang tadinya kesakitan dan rewel mendadak menjadi tenang dan tidur dengan nyenyak. Orang tuanya akan mengira dia sembuh. Padahal justru sebaliknya. Untuk memulihkannya diperlukan teknik bedah rekonstruksi timpanoplasti, gendang telinganya diperbaiki. Jadi, “Operasinya tergantung seberapa parah kerusakannya, hanya di gendang telinga atau sampai ke tulang,” tegas staf pengajar di Bagian THT.
Pencegahan yang terpenting adalah menghilangkan penyebabnya. Kalau terjadi infeksi berulang, berarti sumber infeksi masih ada. Jadi, harus diobati dulu. Terkadang diperlukan juga pembedahan, misalnya operasi amandel. Karena itu, kalau telinga kita bermasalah, jangan dibiarkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar