Sabtu, 12 Maret 2011

Kesendirianmu Adalah Kesendirianku


Bismillah,,,

Aku awali goresan tinta sederhana ini dengan menyebut nama Allah Ta’ala yang maha pengasih dan maha penyayang.
Sebuah luapan perasaan senang serta sebuah guratan perasaan sedih, mengiringi malamku yang sepi ini. Betapa tidak, kelulusan dari bangku kuliah yang aku nantikan kedatangannya, kini telah di depan mata. TA = Tugas Aneh™ yang beberapa bulan ini selalu setia menemani di setiap siang dan malamku, kini telah berakhir dengan nilai yang memuaskan [walhamdulillahi ‘bi ni’mati tathimmush shalihah…], disamping itu kebahagiaan karena sebentar lagi aku akan memasuki dunia yang penuh dengan tanggung jawab serta dunia yang penuh dengan ujian, telah nyata berada di depan mata. Sungguh sebuah kebahagiaan sementara yang Allah ta’ala sematkan di dalam hati ini.
Namun seiring dengan keberadaan perasaan berbunga itu, ada sebuah kesedihan & resah bergemuruh yang sedang menghinggapi hati kecil ini. Ya benar… Kebahagiaan tersebut harus ternoda oleh sebuah kesedihan yang saya sendiripun tak tau, seberapa dalam ia bisa aku rasakan.
Sebuah kesedihan, karena perlahan demi perlahan, teman – temanku yang dulu aku kenal mereka adalah sosok manusia yang menggemarkan dirinya dengan sunnah, menghiasi mata – mata mereka dengan Kitabullah & Hadits – Hadits Rasulullah, menggemuruhkan telinga – telinga mereka dengan kajian & murattal – murattal alquran, berlomba – lomba dalam menulis kalimat – kalimat hikmah penuh kebaikan, berlomba – lomba dalam menghadiri shaf pertama di masjid, bergegas datang di barisan terdepan di depan ustadz saat ta’lim, kini mereka telah menghilang. Tak tau kemana. Entah mereka hilang ditelan bumi, atau mereka terbawa ombak di lautan sehingga karam tenggelam.
Sebagian dari mereka telah bekerja, bekerja untuk memenuhi kehidupan rumah tangga. Ada pula yang bekerja demi mempersiapkan bekal untuk pernikahannya kelak. Ada pula yang mesih mengejar & menuntaskan studinya, ada pula yang kini mulai berumah tangga dan telah menikah. Ada lagi di antara mereka yang kini bersiap menjelang wisuda, ada pula di antara mereka yang kini tak tau entah kemana melanjutkan kehidupan yang penuh dengan ujian ini…
Teman – temanku, Rabb Yang Mulia yang selamanya tak akan pernah tergantikan manfaat & faidah dari Firman-Nya, telah banyak menuturkan kepada kita tentang pentingnya suatu hal. Tahukah engkau…?
Jika kalian mengatakan istiqamah, maka sungguh amat tepatlah jawaban itu. Satu buah kata, yang dengannya, turun malaikat – malaikat Allah untuk menaunginya. Firman Allah:
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allah” kemudian mereka istiqomah pada pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”.” (QS. Fushilat: 30)
Harapan istiqamah di saat sendiri, tentu tak membuat hati ini nyaman. Mungkin itulah yang saat ini sedang dialami seorang teman. Di antara teman – teman yang shalih dan shalihah, ia berharap untuk mendapatkan tempat di sana. Seraut wajah bening-pun seakan tak kuasa untuk mengingat apa yang telah ia tinggalkan dalam hari – harinya silam. Seakan ia berada pada sebuah kebun buah yang ranum, namun sejatinya ia berada sebuah keterhimpitan. Selagi masih ada saat bagi mata ini untuk memandang, semoga masih bisa menuliskan beberapa nasehat ulama’ kepada diri sendiri dan teman2ku yang kini mulai sendiri di sana…
Saudaraku, masih ingatkah engkau dengan hadits ini?

Dari Abu ‘Amr atau Abu ‘Amrah Sufyan bin Abdillah, beliau berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ قُلْ لِى فِى الإِسْلاَمِ قَوْلاً لاَ أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا بَعْدَكَ – وَفِى حَدِيثِ أَبِى أُسَامَةَ غَيْرَكَ – قَالَ « قُلْ آمَنْتُ بِاللَّهِ فَاسْتَقِمْ ».
“Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ajarkanlah kepadaku dalam (agama) islam ini ucapan (yang mencakup semua perkara islam sehingga) aku tidak (perlu lagi) bertanya tentang hal itu kepada orang lain setelahmu [dalam hadits Abu Usamah dikatakan, "selain engkau"]. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Katakanlah: “Aku beriman kepada Allah“, kemudian beristiqamahlah dalam ucapan itu.”[ HR. Muslim no. 38]
Ibnu Rajab al Hambaliy dalam Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 246 mengatakan, “Wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini sudah mencakup wasiat dalam agama ini seluruhnya.”
Oleh karena itu, tak banyak yang bisa aku sampaikan. Hanya 3 hal yang perlu untuk aku dan dirimu melaksanakannya.
Yang petama adalah, perbanyakkan waktu luangmu untuk mengetahui kisah para salafush shalih yang engkau dan aku tahu akan keistiqamahan mereka.

Ingatkah engkau akan perkataan Imam Abu Hanifah yang lebih senang mempelajari kisah-kisah para ulama dibanding menguasai bab fiqih. Beliau rahimahullahmengatakan,
الْحِكَايَاتُ عَنْ الْعُلَمَاءِ وَمُجَالَسَتِهِمْ أَحَبُّ إلَيَّ مِنْ كَثِيرٍ مِنْ الْفِقْهِ لِأَنَّهَا آدَابُ الْقَوْمِ وَأَخْلَاقُهُمْ
Kisah-kisah para ulama dan duduk bersama mereka lebih aku sukai daripada menguasai beberapa bab fiqih. Karena dalam kisah mereka diajarkan berbagai adab dan akhlaq luhur mereka.“[dalam kitab Al Madkhol, 1/164, Mawqi’ Al Islam]

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,
حَسْبِىَ اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ آخِرَ قَوْلِ إِبْرَاهِيمَ حِينَ أُلْقِىَ فِى النَّارِ
“Akhir perkataan Ibrahim ketika dilemparkan dalam kobaran api adalah “hasbiyallahu wa ni’mal wakil” (Cukuplah Allah sebagai penolong dan sebaik-baik tempat bersandar).”[ HR. Bukhari no. 4564] Lihatlah bagaimana keteguhan Nabi Ibrahim dalam menghadapi ujian tersebut? Beliau menyandarkan semua urusannya pada Allah, sehingga ia pun selamat. Begitu pula kita ketika hendak istiqomah, juga sudah seharusnya melakukan sebagaimana yang Nabi Ibrahim contohkan. Ini satu pelajaran penting dari kisah seorang Nabi.
Maka mari wahai akhi, kita renungkan kisah – kisah salafuna ash shalih…
Yang Kedua adalah pilihlah teman – teman yang shalih, yang dia dapat mengingatkan engkau dari adzab Allah, yang menasehati engkau untuk memperbanyak amalan dan yang mendorong engkau untuk selalu istiqamah.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengajarkan kepada kita agar bersahabat dengan orang yang dapat memberikan kebaikan dan sering menasehati kita.
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ ، وَكِيرِ الْحَدَّادِ ، لاَ يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ ، أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ ، وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً
Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang sholih dan orang yang jelek adalah bagaikan berteman dengan pemilik minyak misk dan pandai besi. Jika engkau tidak dihadiahkan minyak misk olehnya, engkau bisa membeli darinya atau minimal dapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau dapat baunya yang tidak enak.” [HR. Bukhari no. 2101, dari Abu Musa]
Kemudian, hadits nabi yang lain yang sering engkau dengar…
“Seseorang itu menurut agama teman dekat/sahabatnya, maka hendaklah salah seorang dari kalian melihat dengan siapa ia bersahabat.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Al-Albani mengatakan SHAHIH dalam Ash-Shahihah no. 927)
Masih ingatkan engkau yaa akh…?
Dengarkanlah kisah wafatnya Abu Thalib di atas kekafiran karena pengaruh teman yang buruk. Tersebut dalam hadits Al-Musayyab bin Hazn, ia berkata, “Tatkala Abu Thalib menjelang wafatnya, datanglah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau dapati di sisi pamannya ada Abu Jahl bin Hisyam dan Abdullah bin Abi Umayyah ibnil Mughirah.
Berkatalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Wahai pamanku, ucapkanlah Laa ilaaha illallah, kalimat yang dengannya aku akan membelamu di sisi Allah.’ Namun kata dua teman Abu Thalib kepadanya, ‘Apakah engkau benci dengan agama Abdul Muththalib?’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menerus meminta pamannya mengucapkan kalimat tauhid. Namun dua teman Abu Thalib terus pula mengulangi ucapan mereka, hingga pada akhirnya Abu Thalib tetap memilih agama nenek moyangnya dan enggan mengucapkan Laa ilaaha illallah. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Yang Ketiga adalah memperbanyak doa, sebuah kalimat yang dengannya Allah ta’ala akan menurunkan karunia-Nya.

Engkau bisa panjatkan do’a ini agar mendapatkan keteguhan dan ketegaran di atas jalan yang lurus adalah,
رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ
Ya Rabb kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).” (QS. Ali Imran: 8)

Kemudian doa yang sering engkau panjatkan, dan yang paling sering Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam panjatkan adalah,
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ
Ya muqollibal qulub tsabbit qolbi ‘alaa diinik (Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu).

Ummu Salamah pernah menanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kenapa do’a tersebut yang sering beliau baca. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya menjawab,
يَا أُمَّ سَلَمَةَ إِنَّهُ لَيْسَ آدَمِىٌّ إِلاَّ وَقَلْبُهُ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ اللَّهِ فَمَنْ شَاءَ أَقَامَ وَمَنْ شَاءَ أَزَاغَ
Wahai Ummu Salamah, yang namanya hati manusia selalu berada di antara jari-jemari Allah. Siapa saja yang Allah kehendaki, maka Allah akan berikan keteguhan dalam iman. Namun siapa saja yang dikehendaki, Allah pun bisa menyesatkannya.“[ HR. Tirmidzi no. 3522]


Semoga engkau masih teringat dengan perlombaan kita di masjid Ibrahim Gebang Lor, beberapa waktu yang lalu. Semoga engkau masih ingat perlombaan kita di majelis para asatidz beberapa bulan silam. Dan, jadilah engkau seperti yang dulu akhi…bahkan, jadilah engkau seperti pendahulumu, para salafuna ash shalih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar